Kalau tak ada aral melintang, beberapa tahun lagi penduduk Indonesia bisa menikmati jaminan pemeliharaan kesehatan berupa asuransi sosial kesehatan seperti penduduk negara maju. Draf Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Kesehatan Nasional (RUU JKN) beserta naskah akademisnya telah disosialisasikan ke pelbagai pihak termasuk DPR. Diharapkan tahun ini RUU JKN bisa dibahas DPR. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan (Depkes) Prof Dr dr Azrul Azwar MPH dalam seminar kecil tentang JKN, Kamis (6/3).
Jaminan Kesehatan Nasional, demikian Azrul, merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sedang disusun pemerintah. Jaminan sosial itu meliputi jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan kesejahteraan karyawan serta jaminan pemeliharaan kesehatan.
Subsistem kesehatan
Menurut Azrul, JKN merupakan satu dari lima subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional yang baru saja direvisi Depkes dalam rangka menyesuaikan dengan desentralisasi. Kelima subsistem itu adalah pembiayaan kesehatan, upaya kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, pemberdayaan masyarakat serta manajemen kesehatan.
Depkes menata pembiayaan kesehatan mengingat biaya kesehatan terus meningkat seiring inflasi dan kemajuan teknologi kedokteran. Anggaran pembangunan kesehatan pemerintah akan digunakan untuk membiayai upaya kesehatan masyarakat (public health) dan upaya kesehatan perorangan penduduk miskin. Sedang upaya kesehatan perorangan penduduk mampu harus dibiayai sendiri lewat kepesertaan dalam asuransi sosial kesehatan (JKN).
Dalam RUU JKN disebutkan asuransi bersifat wajib bagi seluruh penduduk. Preminya 6-8 persen dari penghasilan. Setengahnya dibayar pekerja, sisanya ditanggung majikan/perusahaan. Premi penduduk miskin ditanggung negara. Premi sektor formal dipotong dari pendapatan, sedang premi sektor informal dikumpulkan dengan sistem tersendiri.
Pengumpulan dilakukan Badan Administrasi SJSN yang bersifat wali amanah. Sedang pengelola adalah badan-badan yang bersifat nirlaba. Jika SJSN diterapkan, asuransi kesehatan pegawai negeri (Askes) dan jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja (Jamsostek) akan diintegrasikan, sehingga hanya ada satu asuransi kesehatan wajib. Seluruh penduduk yang tercakup akan mendapat pelayanan kesehatan dasar standar.
Bagi penduduk mampu yang menginginkan pelayanan kesehatan lebih "mewah", bisa menambah keikutsertaan pada asuransi kesehatan komersial maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela. Saat ini Peraturan Pemerintah tentang JPKM sukarela sedang diproses.
Kendali biaya dan mutu
Dalam JKN ada standar pelayanan dan standar mutu yang ditetapkan. Penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter swasta, klinik, puskesmas, rumah sakit) yang ikut serta harus mengikuti standar. Dalam sistem ada empat pihak terkait, yaitu peserta asuransi, badan administrasi, badan pengelola dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Dalam sistem itu ada ikatan kerja/kontrak, siklus kendali mutu, pemantauan utilisasi dan penanganan keluhan. Dengan demikian ada kendali biaya dan mutu.
Nantinya tidak boleh lagi ada pemeriksaan, pemberian obat atau tindakan yang berlebihan. Misalnya, bedah caesar tanpa indikasi. Sebaliknya, pelayanan kesehatan tak boleh kurang dari standar. Peserta berhak mengadu dan keluhan akan ditangani. Jika terbukti, penyelenggara pelayanan kesehatan kena sanksi.
Penyelenggara pelayanan kesehatan akan terdorong meningkatkan mutu pelayanan, jika tidak ikut sistem mereka sulit mendapatkan pasien, karena hampir tak ada lagi orang yang membayar dari kantung sendiri seperti saat ini. (ATK)
Jaminan Kesehatan Nasional, demikian Azrul, merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sedang disusun pemerintah. Jaminan sosial itu meliputi jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan kesejahteraan karyawan serta jaminan pemeliharaan kesehatan.
Subsistem kesehatan
Menurut Azrul, JKN merupakan satu dari lima subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional yang baru saja direvisi Depkes dalam rangka menyesuaikan dengan desentralisasi. Kelima subsistem itu adalah pembiayaan kesehatan, upaya kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, pemberdayaan masyarakat serta manajemen kesehatan.
Depkes menata pembiayaan kesehatan mengingat biaya kesehatan terus meningkat seiring inflasi dan kemajuan teknologi kedokteran. Anggaran pembangunan kesehatan pemerintah akan digunakan untuk membiayai upaya kesehatan masyarakat (public health) dan upaya kesehatan perorangan penduduk miskin. Sedang upaya kesehatan perorangan penduduk mampu harus dibiayai sendiri lewat kepesertaan dalam asuransi sosial kesehatan (JKN).
Dalam RUU JKN disebutkan asuransi bersifat wajib bagi seluruh penduduk. Preminya 6-8 persen dari penghasilan. Setengahnya dibayar pekerja, sisanya ditanggung majikan/perusahaan. Premi penduduk miskin ditanggung negara. Premi sektor formal dipotong dari pendapatan, sedang premi sektor informal dikumpulkan dengan sistem tersendiri.
Pengumpulan dilakukan Badan Administrasi SJSN yang bersifat wali amanah. Sedang pengelola adalah badan-badan yang bersifat nirlaba. Jika SJSN diterapkan, asuransi kesehatan pegawai negeri (Askes) dan jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja (Jamsostek) akan diintegrasikan, sehingga hanya ada satu asuransi kesehatan wajib. Seluruh penduduk yang tercakup akan mendapat pelayanan kesehatan dasar standar.
Bagi penduduk mampu yang menginginkan pelayanan kesehatan lebih "mewah", bisa menambah keikutsertaan pada asuransi kesehatan komersial maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela. Saat ini Peraturan Pemerintah tentang JPKM sukarela sedang diproses.
Kendali biaya dan mutu
Dalam JKN ada standar pelayanan dan standar mutu yang ditetapkan. Penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter swasta, klinik, puskesmas, rumah sakit) yang ikut serta harus mengikuti standar. Dalam sistem ada empat pihak terkait, yaitu peserta asuransi, badan administrasi, badan pengelola dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Dalam sistem itu ada ikatan kerja/kontrak, siklus kendali mutu, pemantauan utilisasi dan penanganan keluhan. Dengan demikian ada kendali biaya dan mutu.
Nantinya tidak boleh lagi ada pemeriksaan, pemberian obat atau tindakan yang berlebihan. Misalnya, bedah caesar tanpa indikasi. Sebaliknya, pelayanan kesehatan tak boleh kurang dari standar. Peserta berhak mengadu dan keluhan akan ditangani. Jika terbukti, penyelenggara pelayanan kesehatan kena sanksi.
Penyelenggara pelayanan kesehatan akan terdorong meningkatkan mutu pelayanan, jika tidak ikut sistem mereka sulit mendapatkan pasien, karena hampir tak ada lagi orang yang membayar dari kantung sendiri seperti saat ini. (ATK)
0 komentar:
Posting Komentar