Bulan Februari, Dana BOS untuk SMP yang tahun ini besarnya Rp 575.000 per siswa setiap tahun dan SMP di kabupaten Rp 570.000 setiap siswa per tahun. Dana itu termasuk untuk membeli dua buah buku pelajaran per siswa SMP. Buku yang harus dibeli tersebut merupakan buku versi murah atau telah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah.
Didik mengatakan, agar dapat menggratiskan siswa SMP, pemerintah daerah harus ikut memberikan tambahan subsidi kepada sekolah. Hanya, belum semua pemerintah daerah memberikan tambahan BOS kepada sekolah. Alasannya, keterbatasan anggaran.
”Ada juga yang menganggap dana BOS dari pemerintah pusat sudah memadai. Pada akhirnya, hanya BOS pemerintah pusat yang menjadi andalan sekolah-sekolah,” kata Didik.
Baru segelintir daerah yang telah membebaskan pendidikan dasar dan menengahnya dari uang sekolah, antara lain Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Dia juga mengatakan, terdapat kekhawatiran di kalangan pemerintah daerah untuk memberikan tambahan BOS yang penyalurannya berupa uang tunai ke sekolah.
Mereka khawatir nantinya melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ”Sebagian daerah kemudian memutuskan memberikan bantuan operasional berupa barang ke sekolah,” ujar Didik.
Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, cara paling efektif agar BOS penggunaannya efektif dan tidak menyimpang, sekolah harus membuat anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang benar.
”Sering terjadi, APBS hanya seperti jurnal keuangan, catatan uang masuk-keluar. Fungsi APBS sebagai bagian dari wadah penampung aspirasi warga sekolah tidak ada,” ujarnya.
APBS seharusnya tidak bicara uang, tetapi berbicara mengenai program sekolah, pembiayaannya, dan sumber dana. Pembicaraan itu antara melibatkan pemangku kepentingan dan pengelola sekolah.
”Jika APBS disusun dengan benar, pemangku kepentingan akan mudah mengontrol dan risiko penyimpangan berkurang,” ujarnya. Tanpa proses APBS yang benar, akan sulit melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana BOS.
Didik mengatakan, agar dapat menggratiskan siswa SMP, pemerintah daerah harus ikut memberikan tambahan subsidi kepada sekolah. Hanya, belum semua pemerintah daerah memberikan tambahan BOS kepada sekolah. Alasannya, keterbatasan anggaran.
”Ada juga yang menganggap dana BOS dari pemerintah pusat sudah memadai. Pada akhirnya, hanya BOS pemerintah pusat yang menjadi andalan sekolah-sekolah,” kata Didik.
Baru segelintir daerah yang telah membebaskan pendidikan dasar dan menengahnya dari uang sekolah, antara lain Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Dia juga mengatakan, terdapat kekhawatiran di kalangan pemerintah daerah untuk memberikan tambahan BOS yang penyalurannya berupa uang tunai ke sekolah.
Mereka khawatir nantinya melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ”Sebagian daerah kemudian memutuskan memberikan bantuan operasional berupa barang ke sekolah,” ujar Didik.
Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, cara paling efektif agar BOS penggunaannya efektif dan tidak menyimpang, sekolah harus membuat anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang benar.
”Sering terjadi, APBS hanya seperti jurnal keuangan, catatan uang masuk-keluar. Fungsi APBS sebagai bagian dari wadah penampung aspirasi warga sekolah tidak ada,” ujarnya.
APBS seharusnya tidak bicara uang, tetapi berbicara mengenai program sekolah, pembiayaannya, dan sumber dana. Pembicaraan itu antara melibatkan pemangku kepentingan dan pengelola sekolah.
”Jika APBS disusun dengan benar, pemangku kepentingan akan mudah mengontrol dan risiko penyimpangan berkurang,” ujarnya. Tanpa proses APBS yang benar, akan sulit melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana BOS.
sumber : http://www.diknas.go.id/
0 komentar:
Posting Komentar